Mewaspadai Gerakan Konstektualisasi Al-Qur’an

artikel tentang Mewaspadai Gerakan Konstektualisasi Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah Wahyu Verbal, Tekstual, dan Eksplisit

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 16)

konstektualSebagai penutup Ulil mengingatkan: “Harap jangan lupa: wahyu verbal dalam al-Qur`an hanyalah separuh wahyu yang harus dilengkapi dengan wahyu non-verbal. Dengan cara itulah kita bisa menghindari sikap bibliolaristik.” (alinea 13)

Sebelumnya Ulil juga mengatakan: “bahwa wahyu tekstual adalah “separoh” saja dari wahyu al-Qur`an yang sesungguhnya (yang lain adalah “wahyu implisit” (dalam bentuk konteks sosial),… (alinea 10)

(more…)

Manusia sebagai “Partner” dari Wahyu

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 15)

konstektualUlil melanjutkan: “kita perlu mengangkat kembali posisi manusia kedalam martabat yang diberikan al-Qur`an sendiri kepadanya, dengan memperhitungkan kemaslahatan manusia sebagai “partner” dari wahyu.
Dalam ucapan diatas Ulil telah berdusta atas nama Allah atau atas nama al-Qur`an. Di manakah Allah menjadikan manusia sebagai “partner” dari wahyu? Kapankah al-Qur`an berbicara bahwa manusia itu sejajar dengan wahyu? Di Surat apakah dan di ayat berapa? Apakah berupa pernyataan atau isyarat? Ataukah tahrif terhadap ayat-ayat al-Qur`an?!

(more…)

Hukum mendustakan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 14)

konstektualUlil menyimpulkan bahwa, “meletakkan al-Qur`an semata-mata sebagai teks yang terisolisasi dari kenyataan di sekitarnya, dan atas dasar itu kemudian ditarik kesimpulan bahwa ajaran tertentu adalah bersifat mengikat, permanen dan berlaku sepanjang masa dan tempat karena ada ketentuan harfiyahnya dalam al-Qur`an, tidak bisa lagi diterima… harus ditolak. (alenia 10 dan 9). “Ayat-ayat  al-Qur`an sudah semestinya dibaca dalam terang visi etis ini, disatu pihak, serta didialogkan dengan pengalaman umat Islam modern di pihak lain. Dengan mengecualikan ayat-ayat yang berkaitan dengan ritual murni seperti shalat, puasa dan haji dan soal makanan dan minuman, maka seluruh “ayatul ahkam” atau ayat-ayat hukum yang keseluruhannya turun di Madinah itu, harus dianggap sebagai ayat yang hanya berlaku temporer, kontekstual dan terbatas pada pengalaman sosial bangsa Arab di abad 7 M. Ayat-ayat itu mencakup ketentuan tentang kewarisan, pernikahan, kedudukan perempuan, jilbab, qishahsh, jilid (cambuk) potong tangan, untuk menyebut beberapa contoh saja…. Klaim al-Qur`an “shalihun likulli zaman wa makan,” tepat dan relevan untuk segala tempat dan waktu … perlu dilihat ulang.” (alenia 11) ia jelas keliru besar, itulah bentuk “bibliolatris” yang harus ditentang… (alenia 12)

Jelas, sangat jelas kesesatan Ulil dan penghinaannya terhadap Allah dan rasul-Nya. Dr. Abdullah al-Mushlih dan Dr. Shalah al-shawi mengatakan: “Kami bersaksi bahwa Rasulullah diutus untuk seluruh dunia. Maka setiap orang yang menganggap bahwa risalah Islam hanya untuk mengajak orang Arab saja, tidak untuk umat lain seperti yang dikatakan oleh sebagian sekte Nashara tempo dulu, dan yang dikatakan oleh sebagian penyeru sekulerisme di zaman ini maka dengan perkataan ini ia telah keluar dari Islam karena telah mengingkari nash-nash yang melimpah tentang universalitas kenabian Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dan telah mengingkari status beliau sebagai utusan keseluruh penjuru dunia.” [1] (more…)

Hikmatut Tasyri’ dipelajari untuk Menguatkan Syari’at

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 13)

konstektualUlil melanjutkan: “kita harus membangun kembali kesadaran umat Islam mengenai apa yang dalam tradisi fiqh disebut sebagai “hikmatul tasyri’”, filosofi dibalik legislasi hukum, dengan kata lain aspek-aspek etis dari ajaran agama Islam harus dikemukakan lagi secara lebih persisten dan vokal untuk menandingi kecenderungan-kecenderungan fundamentalis modern yang hendak mendangkalkan pemahaman Islam sebatas atau sebagai ‘ideologi politik” atau sekumpulan ajaran yang harus diikuti begitu saja karena ia merupakan perintah Tuhan” (alinea 8)

Ucapan Ulil tadi banyak mengandung kesalahan dan kelemahan:

  1. Menyebut semangat kembali kepada al-Qur`an dan sunnah sebagai fundamentalis modern, ini tidak kontekstual dan tidak relevan
  2. Kesadaran umat Islam tentang hikmah tasyri’ tidak pernah mati, jadi tidak perlu disadarkan lagi tetapi Ulil-lah yang perlu disadarkan kembali tentang “haqq tasyri’. (more…)

Kedzaliman terhadap Al-Qur’an

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 12)

konstektual12. Ulil kemudian dengan mantapanya berkata: “Saya hanya mencoba merumuskan masalahnya secara “lain” dalam konteks tantangan baru yang kita hadapi sekarang ini. Suatu cara pandang baru yang radikal, memang benar-benar harus diajukan untuk mengubah cara pandang yang kalau boleh ingin saya sebut sebagai “bibliolatristik” (alenia 8)

Disini saya haya ingin mengingatkan sekali lagi bahwa penggunaan istilah “bibliolatristik” untuk ilmu al-Qur`an dan sunnah adalah kedzaliman yang nyata, karena al-Qur`an yang suci diserupakan dengan Bible yang dipalsu, kaum musimin yang taat kepada Allah dan rasul-Nya disamakan dengan umat yang syirik kepada Allah dan kufur kepada rasul-Nya, dan ilmu al-Qur`an disamakan dengan ilmu Injil, al-Qur`an yang universal disamakan dengan Injil yang telah dihapus masa berlakunya.

Go to Top