Posts tagged Hukum Tuhan

Qath’i dan Zhanni, dalam ushul fiqh

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 7)

konstektual7. Ulil kemudian melanjutkan: “Dua kata itu, Qath’i dan Zhanni, dalam tradisi ushul fiqh klasik dan modern didefinisikan dalam cara yang bagi saya, kurang tepat (alinea 4)

Sudah bisa ditebak, bahwa ketika Ulil berangkat dari titik sekularisme dengan tujuan ingin membongkar supremasi al-Qur’an, maka ia pasti menolak semua kaidah yang ada dalam Islam, baik kaidah ushul, kaidah fiqh, kaidah tafsir, kaidah hadits, maupun kaidah dalam aqidah, kecuali kaidah yang dianggapnya sejalan dengan bid’ah “Kontekstualisasi syari’ah, seperti al-‘Adah Muhakkamah”, itupun menurut penafsirannya sendiri.

Selanjutnya Ulil menjelaskan makna Qath’i dan Zhanni menurut ahli sunnah. Kemudian Ulil menerangkan pembagian qath’i dan zhanni menjadi qath’iyul wurud dan zhanniyul wurud, qathiyud dilalah dan zhanniyud dilalah (alinea 4). Kemudian Ulil menjelaskan alasan ketidak setujuannya dengan mengatakan, “saya paham, bahwa pada akhirnya suatu ajaran dalam masyarakat yang mengenal kitab suci tertulis mau tidak mau mesti dilandaskan pada teks tertulis dalam kitab suci itu (alinea 5) (more…)

Menaati Hukum Alloh

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 6)

konstektual6. Lalu Ulil melanjutkan: “Saya mengajukan pertanyaan dan sekaligus jawaban baru dalam artikel di Kompas yang menimbulkan kontroversi itu. Apakah benar ada yang disebut “hukum Tuhan”? (dalam artian “Divine Law”) dalam pemahaman yang selama ini diletakkan sebagain besar orang modern terhadap kata “hukum”, yaitu hukum positip yang berlaku secara menyeluruh kepada subyek hukum tanpa melihat latar belakang agama, suku, warna kulit, dsb, serta ditegakkan melalui wewenang negara?. Saya, dalam artikel itu mengatakan tidak ada.” (alinea 3)

Dari kutipan di atas bisa disimpulkan:

  1. Ulil tidak merasa menyesal sedikitpun (sebagaimana harapan mertuanya, KH. A. Musthafa Bishri) atas tulisannya di Kompas yang mengingkari adanya hukum Allah.
  2. Allah tidak memiliki hukum “positif”, tidak memiliki hukum skuler, tetapi hanya memiliki “hukum negatif” yang masih melihat latar belakang agama. Atas dasar pengertian “hukum negatif” seperti ini, Ulil masih mau menggunakan istilah “hukum Allah”, sebagaimana ucapannya dalam makalah ini “ketaatan kepada hukum-hukum Allah tetaplah tidak bisa dimutlakkan begitu rupa, sehingga mengorbankan pengalaman kehidupan manusia itu sendiri” (bagian 1, alinea 7)
  3. Ulil benar-benar mengingkari: Sunnah Nabi, Sunnah Khulafa’, Universalitas risalah Muhammadiyah dan Uswatun Hasanah pada diri Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Go to Top