Posts tagged makalah
Bantahan Terhadap Makalah Ulil Abshar (13)
Bantahan Terhadap Makalah Ulil Abshar (12)
20. Ulil menulis untuk mengukuhkan bahwa al-Qur’an adalah “makhluq” dan Tajribah Madinah hanyalah budaya biasa. “Bahkan Az-Zarkasyi, dalam Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an, mengutip suatu pendapat (meskipun kurang dominan) di lingkungan penafsir Qur’an klasik, bahwa Qur’an turun kepada Nabi hanyalah berupa gumpalan gagasan-gagasan, sementara “Wording” atau pengkalimatan gagasan itu dalam konteks masyarakat Makkah dam Madinah saat itu dilakukan oleh Nabi sendiri (sebagaian pendapat lain mengatakan: Jibrillah yang memberikan “baju” atas gagasan-gagasan kewahyuan)” (alinea 13).
Di sini Ulil melakukan beberapa kesalahan dan juga kecurangan:
a. Model kutipan Ulil mengesankan pembaca, bahwa imam al-Zarkasyi al-Syafi’i menyetujui pendapat yang menyimpang itu. Padahal beliau telah menjelaskan bahwa itu bukanlah pendapat yang ada dalam ahlu sunnah. Pada pembukaan, imam Zarkasyi berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyinari hati manusia dengan kitab-Nya, yang telah menurunkannya dalam lafadz yang paling ringkas dengan uslub (gaya bahasa) yang paling mu’jiz…
Pada halaman 290 dia menulis: “Ketauhilah bahwa telah sepakat ahlu sunnah, bahwa firman Allah itu diturunkan, dan mereka berselisih faham tentang arti Allah menurunkannya. Ada yang mengatakan: Menampakkanya, dan ada yang mengatakan Allah memahamkan dan mengajarkan kepada Jibril di langit, lalu Jibril turun ke bumi... Lalu setelah itulah, Zarkasyi mengatakan, “sebagain mereka (?) menukil dari al-Samarqandi, cerita tentang adanya tiga pendapat tentang yang diturunkan kepada Nabi: (1) Lafadz dan makna, (2) Makna saja, lalu Nabi yang mengarabkan, mereka itu beralasan dengan ayat “ نزل به الروح الأمين على قلبك”, (3) Jibril menurunkan makna dan Jibril yang membaca dengan Arab
Seharusnya Ulil bersikap obyektif, kemudian harus berjiwa ilmiyah, artinya kalau ada lebih dari satu pendapat, ambil yang paling kuat dalilnya, jangan asal pilih, apa lagi yang dicari itu yang sesat-sesat, maka itu sama halnya dengan perbuatan “Blatung” atau “lalat hijau”, terbang ke sana-kemari, yang dihinggapi selalu onggokan bangkai.
Bantahan Terhadap Makalah Ulil Abshar (11)
19. Ulil selanjutnya menyatakan: “Seolah-olah yang disebut al-Qur’an hanyalah ayat-ayat yang tertera dalam mushhaf saja, asumsi ini tidak bisa kita terima…. Sama saja dengan mengandaikan Qur’an hanya teks mati belaka…kalau boleh saya hendak mengajukan suatu konsep tentang “wahyu yang hidup”, yaitu wahyu yang terdiri dari teks dan konteksnya sekaligus,…Prof. Arkoun mempunyai analisa yang baik mengenai hal ini. Dia mengajukan suatu istilah “Tajribatul Madinah”, atau pengalaman Madinah…ketika al-Qur’an sibukukan dan diresmikan dalam “Mushhaf” dalam lembaran-lembaran, maka yang tercatat sebagian besar hanyalah teks al-Qur’an, tetapi konteks yang melekat pada wahyu saat turun tidak ikut tercatat di dalamnya. Gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan agar umat kembali kepda “teks”, sama sekali tidak menyadari bahwa mereka sedang mengajak kepada suatu dokumen wahyu yang sudah kehilangan konteksnya” (alinea 12).
Asumsi yang kedua inipun sangat rapuh dan rancu:
a. Keyakinan bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang ada dalam Mushhaf, ini bukan seolah-olah tetapi hakekat kebenaran yang diimani oleh setiap mukmin dan yang ditolak oleh orang kafir.
Al-Qadhi Abu al-Fadhl Ayyadh al-Yahshubi al-Andalusi (544 H) menegaskan: “Umat Islam telah berijma’ (sepakat bulat) bahwa al-Qur’an yang telah dibaca di seantero dunia, yang ditulis dalam mushhaf yang ada di tangan umat Islam, yang disatukan di antara dua sampul kitab yang dimulai dari awal Alhamdulillah Rabb al-Alamin, hingga akhir Qul A’udzu Bi Rabb al-Nas, adalah kalam (ucapan) Allah dan wahyu-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad e. Dan bahwa semua yang ada di dalamnya adalah haqq”[1]
Dr. Shubhi al-Shaleh mengatakan: “Al-Qur’an adalah al-kalam al-Mu’jiz (firman yang jadi mukjizat) yang diturunkan kepada Nabi e yang ditulis di dalam mushhaf, yang diriwayatkan secara mutawattir dan membacanya adalah ibadah.” Pengertian al-Qur’an seperti ini adalah disepakati oleh para ulama ahli Ushul, ahli fiqh, dan ahli bahasa Arab.[2] Ucapan Qadhi Ayyadh dan Shubhi al-Shaleh ini betul, seluruh ulama ahli sunnah disetiap zaman dan di setiap negeri mengimani seperti itu, termasuk imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i dan imam Akhmad dll.[3]
b. Dalam alinea ke 12 ini, Ulil menyebut al-Qur’an adalah teks mati, sebanyak dua kali dan menyebut ia adalah dokumen wahyu yang sudah kehilangan konteksnya. Ucapan Ulil ini sangat merendahkan al-Qur’an yang agung, Allah saja menyebutnya sebagai al-Furqan, Dzikr Mubarak, ‘Aliy Hakim, Majid, Aziz, dan seterusnya hingga lebih dari 90 (sembilan puluh) gelar keagungan.[4]
c. Setelah Ulil merendahkan al-Qur’an yang ada dan keyakinan terhadapnya, ia mengusulkan konsep baru yang lebih baik, yang sebelumnya tidak diketahui oleh siapapun termasuk oleh seluruh sahabat Nabi e, bahkan oleh Nabi sendiri, yaitu apa yang ia sebut sebagai “wahyu Hidup” yang terdiri dari teks dan konteksnya sekaligus. Di sini Ulil melakukan dua kebodohan besar sekaligus
Pertama: ia menolak ajaran, bahwa al-Qur’an itu adalah firman Allah yang kemudian ditulis ke dalam Shuhuf oleh Nabi Muhammad dan disatukan dalam Mushhaf oleh khalifahnya atas kesepakatan seluruh sahabat y. Al-Qur’an adalah ucapan Allah yang terdiri dari huruf-huruf, ayat-ayat, surat-surat dan juz-juz yang ditulis, dihafal, dibaca dan didengar. Inilah yang diturunkan oleh Allah dan inilah yang disebut al-Qur’an. Perhatikanlah dengan hati yang bersih, firman Allah berikut ini:
] وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ[
“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (al-A’raf: 204)
] وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ[
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (al-Taubah:6)
] وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي[
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.” (Yunus: 15)
] بَلْ هُوَ ءَايَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ[
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (al-Ankabut: 49)
] إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ ! فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ ! لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ[
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (al-Waqi’ah: 77-79)
] وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْءَانُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ[
“Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur’an (kepadanya).” (al-An’am: 19)
] وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا[
“Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan“.(al-Furqan: 30)
Allah juga membuka, mengawali 29 surat dengan huruf yang terputus, seperti كهيعص dan حم عسق Juga perhatikan sabda Rasul e yang teramat banyak, di antaranya:
(( مَنْ قَرَأَ حَرْفاً مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالىَ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا: لاَ أَقُوْلُ (آلم) حَرْفٌ, وَلَكِنْ (أَلِف) حَرْفٌ و (لام) حَرْفٌ و (ميم) حَرْفٌ)) ( رواه الترمذى والدارمى. حديث صحيح)
“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah Ta’ala. Maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan (dibalas) sepuluh kalinya, tidaklah aku berkata Alif Laam Miim itu satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf” (HR. Tirmidzi, Al-Darimi, Hadits Shahih)[5]
Dan al-Qur’an yang ada dalam Mushhaf itu sudah lengkap, tidak ada yang hilang dan tidak ada tambahan (termasuk yang disebut oleh Ulil dengan istilah konteks). Allah berfirman:
] لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ[
“Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42)
Kedua: Ulil usul al-Qur’an yang lebih baik, sebagai ganti dari al-Qur’an yang ada ini. Ini tergolong usul yang amat berani, menandakan orangnya punya nyali besar untuk bermusuhan dengan Allah. Ulil tidak bisa menerima al-Qaur’an kecuali jika ia itu “hidup” dalam arti lengkap dengan konteksnya. Dalam sejarah ahli Tahrif, iman dengan bersyarat itu biasa, generasi sebelum Ulil ada yang tidak mau beriman kecuali mereka melihat langsung al-Qur’an turun dari langit, bahkan generasi sebelumnya lagi ada yang mau beriman apabila Allah diperlihatkan kepadanya (baca, al-Nisa’: 153)
Orang kafir jahiliyah dulu, mengetahui bahwa yang disebut al-Qur’an itu, ya yang ada seperti sekarang ini, tetapi mereka ingin al-Qur’an versi lain (QS Yunus: 15). Dan mereka memiliki pandangan bahwa syarat kemenangan adalah dengan tidak mentaati al-Qur’an yang sesungguhnya ini, mereka berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh akan al-Qur’an ini, dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka) (QS Fushshilat: 26).
Yang lebih ironis lagi, pandangan Ulil yang sesat tersebut, di atas namakan kepada Sayyidina Ali secara dusta, ia berkata dengan lugu: “Benarlah kata Sayyidina Ali seperti yang telah dikutip di atas: Sesungguhnya Qur’an itu adalah teks mati (karena dikodifikasi dengan tanpa menyatakan dokumen tentang konteksnya).” Benarlah kata imam Syatibi (790 H), bahwa setiap orang yang keluar dari sunnah pasti suka memaksakan diri dalam beristidlal, sebab jika tidak demikian, pandangan yang dia lontarkan cukup membuktikan kalau dia dusta[6]
Perlu diketahui, bahwa al-Qur’an telah disampaikan oleh Rasul e baik lafadz (teks) atau bayan (penjelasan)nya. Sesudah Rasulullah e, lafadz al-Qur’an dan al-Sunnah (bayan al-Qur’an) disampaikan oleh para Qurra’ dan huffazh. Sedangkan makna al-Qur’an dan makna hadits disampaikan oleh para imam dan para fuqaha’, kedua macam tabligh tersebut bertumpu pada dua syarat utama, yaitu: ilmu tentang yang ia sampaikan dan shiddiq (jujur) dalam menyampaikan, ditambah dengan bagus jalan hidupnya dan baik suluknya[7]
d. Pendahulu Ulil selain Hasan Hanafi adalah Muhammad Arkoun (lahir di Aljazair 1928) guru besar pemikiran Islam di Sorbone, Paris. Arkoun, sejarawan yang berlatar belakang budaya Perancis itu, ingin menggabungkan antara nalar Islami yang menurutnya telah mengalamai kemandegan, dengan nalar Barat modern yang cenderung Positivistik, dengan cara dekontruksi metodologi keislaman. Metodologi Rethinking Islam tawaran Arkoun di atas, didasarkan pada ilmu-ilmu linguistik, semiotika modern, antropologi, sejarah sosial serta kemanusiaan kontemporer. Arkoun ingin bebas dari sakralisasi terhadap teks-teks agama dan dari metodologi keilmuan yang telah dibangun dan diwariskan oleh para ulama dalam rentang sejarahnya yang panjang. Menurutnya studi agama Islam ini dihambat oleh warisan definisi dan metode yang kaku dari teologi dan metafisika klasik. Teks Qur’an adalah wacana, teks yang terbuka, tidak mungkin disempitkan jadi idiologi. Wahyu yang tertulis adalah teks simbolis, yang menerima adanya lapisan-lapisan makna. Karena itu supaya tidak mensakralkan warisan para ahli tafsir, diperlukan cara baca baru, supaya bisa melahirkan makna baru. Secara umum Arkoun membaginya ke dalam dua tahap: Tahap analisis linguistik kritis (analisis teks) dengan menggunakan perangkat tata bahasa dn leksikografis yang dihimpun oleh tafsir-tafsir klasik, dan Tahap analisis hubungan kritis yang dilanjutkan dengan analisis mistis / simbolis[8]
Mengapa Arkoun menggunakan pendekatan linguistik? Dia memaparkan: “pelajaran dasarnya adalah bahwa al-Qur’an diwahyukan dalam bahasa Arab….oleh karena itu, inti pemikiran Islam harus ditampilkan sebagai suatu isu linguistik dan semantik”.[9]
Lalu mengapa Arkoun memadukan dengan pendekatan histories, sosiologis? Menurutnya: karena dimensi historisitas yang justru menentukan, bahkan pesan wahyu pun tunduk kepadanya, selama ini diabaikan[10] tak terpikir (unthinkable) dan tak terpikirkan (unthought). Dalam sistim pemikiran Islam yang “ortodoks”, semua budaya dan sistim pemikiran yang dihubungkan dengan masyarakat pagan, politeis (musyrik), jahili (pra Islam), atau modern sekuler berada dalam wilayah yang tak terpikir dan tak terpikirkan. Maka sudah saatnya untuk memasukkannya dalam wilayah yang terpikir (thinkable)[11]. Karena itu, Arkoun juga mengusulkan untuk melakukan kritik nalar Islam dan menulis ulang dalam teologis, legal dan historiografis[12]
Walhasil, rethinking Islam model Arkoun menganggap, Islam yang dipraktekkan oleh Rasul Allah dan yang dianut oleh ahlu sunnah, hanyalah Tajribatul Madinah (pengalaman Madinah), lalu sebagai gantinya ia memakai al-Qur’an dengan berdasarkan Tajribatul Urubbiyah (pengalaman Eropa), namun sayang seribu kali sayang, bukan meniru sains Eropa, melainkan meniru kesesatannya, seperti memandang al-Qur’an sama dengan Bible, memperlakukan al-Qur’an sama dengan Bible dan memisahkan agama dari kehidupan.
Bantahan Terhadap Makalah Ulil Abshar (10)
16. Ulil mengatakan: “Setiap teks selalu mengandung lapisan-lapisan penafsiran yang bertingkat-tingkat”. (alinea 11)
Ucapan ini perlu diluruskan, pertama: Tidak setiap teks mengandung lapisan makna, karena ada teks yang bersifat manshush (ketentuan) yaitu kata bilangan seperti satu atau sepuluh, dan kata yang pemakaianya ada dalam satu model atau cara disetiap tempat kehadirannya. Maka kedua bentuk kata ini bersifat nash tidak menerima Ta’wil atau Majaz
Kedua: Lapisan-lapisan penafsiran itu tidak boleh menyalahi Zhahirnya lafadz atau teks, kalu tidak maka itulah yang disebut Tahrif (menyelewengkan) yang berarti Takdzib (mendustakan), sebagaimana yang dilakukan oleh Iblis laknatullah alaih.
Syaikhul Islam ibn Taimiyah mengatakan: “Ta’wil yang diterima adalah tafsir yang menunjukkan kepada maksud pemilik ucapan, apabila tidak demikian, maka hal itu adalah tahrif (penyimpangan) dan ilhad (pengingkaran), bukan termasuk tafsir atau penjelasan terhadap maksud (more…)
Bantahan Terhadap Makalah Ulil Abshar (9)
14. Kemudian Ulil menutup alinea 10 dengan mengatakan: “Bahaya dari bibliolatry adalah hilangnya dimensi manusia (“ghayabul insan” istilah Hasan Hanafi) dalam modus keberagamaan. Pengalaman manusia menjadi remeh dan tidak dipentingkan, manusia menjadi tidak ada harganya, entah sebagai pribadi atau sebagai kolektif sosial yang kaya akan pengalaman-pengalaman histories yang kongkrit”.
Ulil betul-betul ingin berontak, tidak ingin menjadi hamba Allah yang taat, bahkan menggugat Islam yang telah mengajarkan agar setiap muslim patuh kepada ketentuan Allah. Ulil betul-betul keluar dari konteks ketika mengatakan: “Pengalaman manusia menjadi remeh dan tidak diperhitungkan”. Setiap muslim menyadari bahwa dunia ini adalah ujian, setiap aktivitas manusia pasti ada balasannya. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah-pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (al-Zalzalah: 7-8).
Ulil juga telah mengakui bahwa pikiran-pikirannya -yang kacau dan kusut ini- juga diambil dari Hasan Hanafi (lahir 1935, Mesir) penulis buku al-Wahyu Wa al-Waqi’ (wahyu dan realita; Teks dan Konteks), di sana ia menulis, “Aib, dan sangat aib menjadikan wahyu lepas dari dimensi waktu dan ruang”.[1]
Sedang dalam mausu’ah al-Hadharah al-Islamiyah, disebutkan bahwa ia berkata: “Wahyu tidaklah berada di luar konteks zaman, yang tetap dan tidak berubah, tetapi ia di dalam konteks zaman yang berkembang seiring dengan perkembangannya”.[2]
Prof. Dr. al-Zunaidi menjelaskan bahwa Hasan Hanafilah orang yang berupaya mempelajari Asbab Nuzul untuk mengukuhkan pahamnya bahwa pengalaman riil-lah yang telah mendekte wahyu dengan mendatangkan solusi-solusi bagi problematika yang ada, artinya realita dulu baru kemudian wahyu, seperti teori Karl Marx, realita dulu baru pemikiran. (more…)
Komentar