Posts tagged syariat
Ayat-ayat Kauniyah dalam Al-Qur’an
Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 11)
11. Di akhir alenia 7 Ulil menyebutkan bahwa, “al-Qur`an itu adalah wahyu eksplisit yang memerlukan adanya wahyu implisit yaitu konteks dengan mediasi akal.” Lalu Ulil mengatakan; “Dalam penggunaan yang lebih popular, dikenal dua istilah; ayat-ayat Qauliyah dan ayat-ayat kauniyah. Saya pernah menggunakan istilah wahyu verbal dan wahyu non verbal. Keduanya harus saling mengandaikan dan mensyaratkan.”
Ulil banyak mempermainkan al-Qur`an dengan istilah-istilah baru yang rusak sebagaimana yang kami terangkan pada bagian-bagian terdahulu. Disamping itu Ulil sering melakukan kecurangan dan pengaburan; ayat-ayat kauniyah bukanlah padanan dari wahyu implisit atau wahyu non verbal buatan Ulil, yang diartikan dengan konteks masyarakat dan pengalaman manusia. Sedangkan ayat-ayat kauniyah adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada dalam kaun (alam) berikut ini perbedaan kauniyah dengan konteks. (more…)
Al Qur’an dan As Sunnah bersifat Universal dan Komprehensif
Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 10)
10 . Setelah berteduh di bawah bayang-bayang orang yang tidak jelas tersebut, Ulil keluar dengan membawa kesimpulan “saya kira, “batu-batu bata” argumen yang telah dimulai oleh pemikir-pemikir muslim modern itu sudah cukup membawa kita untuk meninjau ulang cara kita membaca “ayat-ayat al-Qur’an atau sunnah” (alinea 7)
Sekali lagi Ulil yang tidak mau menerima teks-teks al-Qur’an, al-Sunnah dan Aqwal ulama, ternyata menelan mentah-mentah teks-teks ucapan beberapa orang yang pikirannya menyimpang dan tidak wajar.
Di sini akan saya paparkan beberapa keterangan ahli ilmu tentang kaidah qath’i dan zhanni berikut hukum orang yang mengingkarinya.
- Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah berkata:
“Nushush (teks-teks) al-Qur`an dan sunnah bersifat “Ammah” (universal) dan Syamilah (komprehensif), tidak ada satu hukum-pun yang keluar dari padanya. Tetapi dilalah nushush (petunjuk nash-nash ini) ada dua macam; hakikiyah (esensial, substansial) dan idhafiyah (tambahan, relatif). Dilalah (petunjuk) yang hakiki mengikut kepada maksud dan kehendak mutakallim (pembicara), dilalah ini tidak berbeda-beda. Sedangkan dilalah idhafiyah adalah mengikut kepada pemahaman orang yang mendengar, pengetahuannya, ketajaman pikiran, kemampuan, kejernihan hati dan penguasaannya terhadap lafadz-lafadz dan tingkatan-tingkatannya. Dilalah ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan potensi yang ada pada para pendengar.’[1] (more…)
Penolakan terhadap Prinsip-prinsip Ajaran Islam
Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 9)
9. Kemudian pada alinea 6, Ulil menyebut beberapa nama orang yang menjadi nenek moyangnya dalam menolak prinsip-prinsip ajaran Islam; Qath’i dan Zhanni, mereka itu adalah: Fazlur Rahman (Pakistan-Amerika; 1919-1988) penggagas etika al-Qur’an dan semangat moral al-Qur’an[1], Mahmud Muhammad Thaha (Sudan, kira-kira 1910-1985) yang dihukum mati karena kesesatan pemikirannya yang mengatakan bahwa ayat-ayat Makkiyah harus lebih diutamakan dari pada ayat-ayat madaniyah yang temporal dan kondisional[2], Abdullah Ahmad an-Na’im (Sudan-Amerika, lahir 1946), penerus Mahmud Muhammad Thaha yang berjuang untuk “memperbaharui” syari’at Islam guna mendukung deklarasi universal HAM[3] dan Masdar F. Mas’udi (alumni IAIN Jogya), penggagas agar ibadah haji tiap tahun waktunya diperluas bukan hanya Dzulhijjah saja, tetapi meliputi Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah[4]
[1] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal (Jakarta, Paramadina, 2001), hal. 542
[2] Ibid, hal. 456
[3] Ibid, hal. 369,381
[4] Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2002), hal. 75
Syari’at merupakan ketentuan yang mengikat semua umat Islam
Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 5)
5. Selanjutnya Ulil bertanya dengan sinis: “Apakah syari’at merupakan ketentuan yang begitu saja harus kita anggap mengikat semua umat Islam karena dia adalah “hukum Tuhan”? (alinea 3)
Perlu diketahui bahwa syari’at pada zaman ini digunakan untuk tiga makna:
- Syara’ Munazzal (ajaran yang diturunkan) yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang wajib diikuti oleh setiap orang. Barang siapa berkeyakinan bahwa sebagian orang tidak wajib mengikuti syari’at ini, maka ia kafir.
- Syara’ Muawwal, yaitu hasil-hasil ijtihad para ulama mujtahid yang diperselisihkan oleh para ulama, maka boleh mengikuti salah seorang mujtahid, bagi orang yang melihat bahwa hujjahnya kuat, atau bagi orang yang berkapasitas sebagai muqallid. Tidak wajib bagi umat Islam mengikuti seseorang secara tertentu kecuali Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam.
- Syara’ Mubaddal, yaitu syari’at palsu, seperti hadits-hadits palsu, Ta’wil-ta’wil rusak, Analog-analog bathil (sebagaimana yang sedang diusung oleh JIL). Ini adalah haram diikuti.[1]
[1] Zuhair Syafiq, Fiqh al-Tashawwuf, (Beirut, Dar al-Fikr al-Arabi, cet. 1, 1993) hal. 240, 280
Makna Syari’at
Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 4)
4. Ulil mengatakan: “Kita dihadapkan lagi dengan persoalan lama yang belum tuntas perdebatannya, apakah yang disebut dengan syari’at? Mana saja lingkupnya?. (alinea 3)
Yang perlu diperjelas dan dijawab dari kutipan di atas adalah:
- Belum tuntas perdebatannya antara pembela syari;at Allah dengan kaum sekularis, subordinan Barat kapitalis.
- Yang dimaksud dengan syari’at Islam adalah hukum dan ketentuan apa saja yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam [1].
- Ruang lingkup syari’at adalah:
- Pertama: Aqidah dengan segala kandungannya.
- Kedua : Tasyri’ (hukum ibadah dan mu’amalah).
- Ketiga : Akhlaq dan adab beserta kandungannya [2]
[1] Al-Sa’di, Op. cit (1413) hal. 170
[2] Ibrahim al-Dasuqi Khumais, Muqawwimat al-Hayah Min al-Qur’an (Dar al-Shahwah, 1406), hal. 9; Team Penyusun Modul KIT, Pengantar Studi Islam (Jakarta, al-Sofwa, 2002) hal. 39-41
Komentar