Posts tagged tradisi

Al Qur’an dan As Sunnah bersifat Universal dan Komprehensif

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 10)

konstektual10 . Setelah berteduh di bawah bayang-bayang orang yang tidak jelas tersebut, Ulil keluar dengan membawa kesimpulan “saya kira, “batu-batu bata” argumen yang telah dimulai oleh pemikir-pemikir muslim modern itu sudah cukup membawa kita untuk meninjau ulang cara kita membaca “ayat-ayat al-Qur’an atau sunnah” (alinea 7)

Sekali lagi Ulil yang tidak mau menerima teks-teks al-Qur’an, al-Sunnah dan Aqwal ulama, ternyata menelan mentah-mentah teks-teks ucapan beberapa orang yang pikirannya menyimpang dan tidak wajar.

Di sini akan saya paparkan beberapa keterangan ahli ilmu tentang kaidah qath’i dan zhanni berikut hukum orang yang mengingkarinya.

  1. Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah berkata:
    “Nushush (teks-teks) al-Qur`an dan sunnah bersifat “Ammah” (universal) dan Syamilah (komprehensif), tidak ada satu hukum-pun yang keluar dari padanya. Tetapi dilalah nushush (petunjuk nash-nash ini) ada dua macam; hakikiyah (esensial, substansial) dan idhafiyah (tambahan, relatif). Dilalah (petunjuk) yang hakiki mengikut kepada maksud dan kehendak mutakallim (pembicara), dilalah ini tidak berbeda-beda. Sedangkan dilalah idhafiyah adalah mengikut kepada pemahaman orang yang mendengar, pengetahuannya, ketajaman pikiran, kemampuan, kejernihan hati dan penguasaannya terhadap lafadz-lafadz dan tingkatan-tingkatannya. Dilalah ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan potensi yang ada pada para pendengar.’[1] (more…)

Penolakan terhadap Prinsip-prinsip Ajaran Islam

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 9)



konstektual9. Kemudian pada alinea 6, Ulil menyebut beberapa nama orang yang menjadi nenek moyangnya dalam menolak prinsip-prinsip ajaran Islam; Qath’i dan Zhanni, mereka itu adalah: Fazlur Rahman (Pakistan-Amerika; 1919-1988) penggagas etika al-Qur’an dan semangat moral al-Qur’an[1], Mahmud Muhammad Thaha (Sudan, kira-kira 1910-1985) yang dihukum mati karena kesesatan pemikirannya yang mengatakan bahwa ayat-ayat Makkiyah harus lebih diutamakan dari pada ayat-ayat madaniyah yang temporal dan kondisional[2], Abdullah Ahmad an-Na’im (Sudan-Amerika, lahir 1946), penerus Mahmud Muhammad Thaha yang berjuang untuk “memperbaharui” syari’at Islam guna mendukung deklarasi universal HAM[3] dan Masdar F. Mas’udi (alumni IAIN Jogya), penggagas agar ibadah haji tiap tahun waktunya diperluas bukan hanya Dzulhijjah saja, tetapi meliputi Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah[4]


[1] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal (Jakarta, Paramadina, 2001), hal. 542

[2] Ibid, hal. 456

[3] Ibid, hal. 369,381

[4] Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2002), hal. 75

Qath’i dan Zhanni, dalam ushul fiqh

Bantahan terhadap “Pembacaan Baru Atas Al-Qur’an: Go Beyond Text” (Bagian 7)

konstektual7. Ulil kemudian melanjutkan: “Dua kata itu, Qath’i dan Zhanni, dalam tradisi ushul fiqh klasik dan modern didefinisikan dalam cara yang bagi saya, kurang tepat (alinea 4)

Sudah bisa ditebak, bahwa ketika Ulil berangkat dari titik sekularisme dengan tujuan ingin membongkar supremasi al-Qur’an, maka ia pasti menolak semua kaidah yang ada dalam Islam, baik kaidah ushul, kaidah fiqh, kaidah tafsir, kaidah hadits, maupun kaidah dalam aqidah, kecuali kaidah yang dianggapnya sejalan dengan bid’ah “Kontekstualisasi syari’ah, seperti al-‘Adah Muhakkamah”, itupun menurut penafsirannya sendiri.

Selanjutnya Ulil menjelaskan makna Qath’i dan Zhanni menurut ahli sunnah. Kemudian Ulil menerangkan pembagian qath’i dan zhanni menjadi qath’iyul wurud dan zhanniyul wurud, qathiyud dilalah dan zhanniyud dilalah (alinea 4). Kemudian Ulil menjelaskan alasan ketidak setujuannya dengan mengatakan, “saya paham, bahwa pada akhirnya suatu ajaran dalam masyarakat yang mengenal kitab suci tertulis mau tidak mau mesti dilandaskan pada teks tertulis dalam kitab suci itu (alinea 5) (more…)

Go to Top