Status wanita yang dinikahi Mut’ah

Banyak dari lelaki hidung belang yang dengan getol menjajakan nikah mut’ah mengatakan bahwa nikah mut’ah tidak berbeda dengan nikah biasa. Hubungan suami istri pada keduanya sama-sama bisa diputus dan dapat pula dilanjutkan, sebagaimana yang dinukilkan dalam buku “Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Hal 253.

Untuk membuktikan sejauh mana kebenaran ucapan di atas, maka saya mengajak saudara untuk merenungkan beberapa riwayat berikut:

عن زرارة عن أبي عبد الله عليه السلام: ذكرت له المتعة أهي من الأربع فقال: تزوج منهن ألفا فإنهن مستأجرات 5/454

Zurarah meriwayatkan dari Abu Abdullah Ja’far As Shadiq ‘Alihissalaam: Aku pernah bertanya masalah nikah mut’ah kepada Abu Abdullah, apakah wanita yang dinikahi mut’ah itu dihitung dari batasan empat wanita yang boleh dinikahi? Beliau menjawab: Nikahilah dengan seribu wanita dengan nikah mut’ah, karena mereka itu adalah wanita sewaan/bayaran.

Riwayat ini dapat anda temukan di : Al Kafi 5/454, oleh Al Kulainy, wafat thn 329 H, Khulashatul Ijaaz 49, oleh As Syeikh Al Mufid wafat thn 413 H, Al Istibshar 3/147, oleh As Syeikh AT Thusi wafat thn 460 H, Mukhtalafus Syi’ah 7/230, karya Al Hilli, wafat thn 726 H, & Wasa’ilus Syi’ah 14/456, karya Al Hur Al ‘Amili wafat thn : 1104 H.

Pada riwayat lain, Abu Abdillah Ja’far As Shadiq ditanya :

كم تحل من المتعة؟ قال: هن بمنزلة الإماء.

“Berapa banyak jumlah wanita yang boleh dinikahi mut’ah? Beliau menjawab : Wanita mut’ah kedudukannya seperti budak wanita.”

Riwayat ini dapat anda temui dengan mudah di kitab: Al Kafi 5/451, oleh AL Kulainy wafat Thn 329 H, Khulashatul Iijaaz 52, oleh As Syeikh Al Mufid wafat thn: 413 H, dan Wasaa’ilus Syi’ah 20/529 oleh Al Hur Al ‘Amili wafat thn : 1104 H.

Dikarenakan status wanita mut’ah adalah wanita bayaran, atau  setara dengan budak, maka secara otomatis mereka tidak memiliki hak sebagaimana layaknya istri biasa. Berikut beberapa hak yang dimiliki oleh wanita uang dinikahi dengan cara biasa dan yang tidak dimiliki oleh wanita korban mut’ah:

1- Hak Warisan.

Dikarenakan statusnya adalah wanita bayaran, maka secara logis mereka hany berhak menerima upahnya. Adapun warisan, maka mereka tidak berhak mendapatkannya.

Abu Bashir menceritakan, bahwa Abu Abdillah Ja’far s Shadiq pernah ditanya tentang status wanita mut’ah, beliaupun menjawab:

ليست من الأربع لأنها لا تطلق ولا ترث، وإنما هي مستأجرات

“Wanita itu tidak dihitung dari batasan jumlah empat wanita yang boleh dinikahi oleh seorang lelaki, karena wanita mut’ah berpisah dari suaminya tanpa melalui perceraian, dan juga tidak berhak menerima warisan. Mereka itu hanyalah wanita bayaran.”

Riwayat ini dapat anda temudi pada : Al Kafi 5/452, oleh Al Kulainy wafat thn: 329 H, Risalatul Mut’ah 12, oleh As Syeikh Al Mufid, wafat thn : 413 H, Bihaarul Anwar 100/309, oleh Muhammad Baqir Al Majlisy wafat thn 1111 H & At Tafsir As Shaafi 1/421, oleh Al Maula Muhsin Al Faidh Al Kaasyany, wafat thn : 1091 H.

Berdasarkan berbagai riwayat inilah, salah seorang tokoh terkemuka agama Syi’ah zaman sekarang, yaitu As Sayyid Al Khu’i berkata:

أم المنقطعات فهن المستأجرات ولا ميراث لهن

“Adapun istri-istri yang hanya untuk sementara waktu (istri mut’ah), maka status mereka adalah wanita sewaan/ bayaran, dan mereka tidak berhak mendapatkan warisan.” ([1])

2- Nikah Tanpa Wali.

Sebagai konsekwensi langsung dari status wanita mut’ah adalah wanita bayaran, maka kita mendapatkan banyak riwayat yang menegaskan bahwa dibenarkan bagi para pengikut Syi’ag untuk menikahi wanita dengan nikah mut’ah, walau tanpa persetujuan orang tua atau wali sang wanita. Abu Abdullah Ja’far As Shadiq berkata:

لا بأس بتزويج البكر إذا رضيت من غير إذن أبيها.

“Tidak mengapa menikahi seorang gadis asalkan ia ridha, walau tanpa seizin dari ayahnya.”

Riwayat ini dapat anda temukan di berbagai referensi terpercaya dalam agama Syi’ah, diantaranya: Khulashatul Ijaaz 47 dan Risalatul Mut’ah 10, keduanya karya As Syeikh Al Mufid wafat thn : 413 H, Mukhtalafus Syi’ah 7/124, karya Al Hilly wafat thn 726 H, Al Istibshar 3/236, karya At Thusy wafat thn : 460 & Bihaarul Anwaar 100/308, karya Muhammad Baqir Al Majlisy wafat thn 1111 H.

Saudaraku! Demikianlah doktrin yang diajarkan dalam agama Syi’ah. Karenanya waspadailah putri-putri anda, agar tidak terperangkap oleh jaring-jaring kenistaan yang ditebar oleh para penjaja agama Syi’ah.

Saya harap saudara tidak terlalu hanyut oleh rasa heran ketika membaca data ini, karena ada  data lain yang lebih mengejutkan. Simaklah riwayat berikut:

عن أبان بن تغلب قال: قلت لأبي عبد الله عليه السلام: إني أكون في بعض الطرقات فأرى المرأة الحسناء، ولا آمن أن تكون ذات بعل أو من العواهر؟ قال: ليس هذا عليك، إنما عليك أن تصدقها في نفسها

Dari Aban bin Taghlib, aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah alaihissalam: Kadang kala aku berada di tengah perjalanan, lalu aku menyaksikan wanita cantik, akan tetapi aku kawatir bila dia masih bersuami atau pelacur? Abu Abdullah mejawab: Itu bukan urusanmu, engkau percaya saja kepada wanita itu tentang status dirinya.

Riwayat ini dengan mudah anda dapatkan pada kita: Risalah Al Mut’ah karya As Syeikh Al Mufid hal: 14, Al Kafi oleh Al Kulaini, 5/462, Wasa’ilus Syi’ah karya Al Hur Al ‘Amili 14/456 & Bihaarul Anwaar, karya Muhammad Baqir Al Majlisi 100/310.

Saudaraku! Adalah doktrin cabul yang melebihi doktrin di atas? Anak gadis orang dibolehkan untuk dinikahi tanpa sepengetahuan walinya, dan bahkan istri-istri orangpun tidak luput dari ulah cabul para pengikut agama yang berasal dari persia ini.

Saya yakin, setiap lelaki sejati pasti akan marah dan cemburu membaca riwayat-riwayat cabul ini. Betapa tidak, para penganut agama dari persia ini berusaha untuk menodai keluarga wanitanya, bahkan istrinya. Hanya lelaki yang telah kehilangan harga dirilah yang tetap setia menganut agama Syi’ah walaupun telah membaca data valid ini.

3- Tidak memiliki hak-hak layaknya seorang istri yang sewajarnya.

Konsekwensi lain dari status wanita mut’ah sebagai wanita bayaran ialah tidak memiliki hak-hak yang sewajarnya sebagai seorang istri sebagaimana yang dimiliki oleh wanita yang dinikahi dengan pernikahan biasa (nikah dawam).

Salah seorang tokoh terkemuka agama Syi’ah yang hidup pada abad ke-6 berkata:

لا خلاف أنه لا يتعلق بها حكم الإيلاء ولا يقع بها طلاق ولا يصح بينها وبين الزوج لعان … ولا سكنى لها ولا نفقة، ويجوز الجمع بيغر خلاف بين أصحابنا في هذا النكاح بين أكثر من أربع؛ لأنهن بمنزلة الإماء عندنا، ولا يلزم العدل بينهن في المبيت

Tidak ada perbedaan pendapat bahwa pada wanita mut’ah tidak berlaku hukum ila’ (seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya), tidak dapat dicerai, dan juga tidak ada syari’at li’an, …. Sebagaimana wanita mut’ah tidak berhak mendapatkan rumah (tempat tinggal) dan nafkah. Sebagaimana tidak ada perbedaan pendapat bahwa dibolehkan bagi seorang lelaki untuk menikahi lebih dari empat wanita sekaligus. Yangdemikian itu karena status mereka menurut kami adalah bagaikan budak, dengan demikian seorang suami tidak wajib pula untuk berbuat adil dalam pembagian jumlah hari antara wanita-wanita yang ia nikahi mut’ah.”  ([2])

Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada para tokoh kita yang berperan sebagai aktor taqrib (pendekatan) antara sunni dan syi’ah : Apakah bapak masih tetap menutup mata dari data-data semacam ini, sehingga bapak mengesankan kepada umat bahwa perbedaan antara nikah mut’ah dengan nikah biasa hanyalah dalam permasalah batasan waktu?

Bila memang demikian adanya, mengapa bapak tidak menjadi teladan bagi umat dengan menikahkan mut’ah putri bapak dengan lelaki Syi’ah? Dengan cara ini masyarakat akan dapat menilai apakah pendapat bapak benar atau tidak.

Coba bapak membayangkan kira-kira bagaimana reaksi masyarakat tatkala mereka mendengar bapak dihadapan para saksi dan tamu undangan berkata kepada mempelai lelaki: Saya nikahkan saudara dengan putri saya yang bernama fulanah, dengan mas kawin seperangkat alat sholat untuk masa pernikahan satu hari saja. Terlebih-lebih apabila bapak berkata kepada mempelai lelaki: Saya nikahkan saudara dengan putri saya yang bernama fulanah, dengan mas kawin seperangkat alat sholat untuk masa pernikahan sekali hubungan badan saja.

Bapak juga bisa membayangkan kira-kira bagaimana reaksi dan tanggapan tamu undangan bapak. Mungkin sebagian mereka akan berkomentar: Lo kok akad pernikahannya mirip dengan akad yang dahulu diucapkan oleh para mucikari di daerah Kramat Tunggak atau Gang Doli?


[1] )  Al Ijarah 231, karya As Sayyid Al Khui, wafat tahun 1413 H.

[2] )  As Saraa’ir 2/624, oleh Ibnu Idris Al Hilli wafat thn: 598 H.