konstektual

MAKALAH ULIL ABSHAR YANG BERJUDUL “TENTANG PENTINGNYA MENYEGARKAN KEMBALI PEMAHAMAN ISLAM”

A. Inter-Tekstualitas Al-Qur`An Dan Wahyu Hidup

بسـم الله الرحمن الرحيـم

v قال الله تعالى: مَا يُجَادِلُ فِي ءَايَاتِ اللَّهِ إِلاَّ الَّذِينَ كَفَرُوا ( غافر: 4)

v قال رسول الله e : مَنْ قَالَ فِي الْقُرْأَنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه أبو داود والترمذى: حديث صحيح)

v Tidak ada yang memperdebatkan tentang Ayat-Ayat Allah, kecuali orang-orang kafir (Ghafir: 4)

v Siapa yang berbicara tentang al-Qur’an tanpa ilmu, maka hendaklah mengambil tempat duduknya dari Neraka (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, Hadits shahih)

Setelah Ulil Abshar menurunkan tulisan “Menyegarkan kembali pemahaman Islam” di harian Kompas (18/11/2002) yang mengakibatkan lahirnya “fatwa mati” untuk Ulil oleh FUUI (Forum Ulama Umat Indonesia), maka pada tanggal 8 Pebruari 2003, Ulil berceramah di Paramadina untuk menegaskan kembali pentingnya proyek kontekstualnya al-Qur’an. Teks ceramah tersebut dipublikasikan dengan judul “Menghindari BIBLIOLATRI Tentang pentingnya menyegarkan kembali pemahaman Islam.” (setebal 14 halaman).

Karena tulisan tersebut penuh dengan kerancuan dan makar, maka saya perlu menanggapi guna menyibak misteri yang sedang merasuki Ulil dan demi menegakkan kebenaran yang sedang dianiaya olehnya. Berikut ini adalah tanggapan saya:

1. Dalam mukaddimah, Ulil mengutip ucapan dari dua tokoh; Imam Ghazali dan Huxley. Kutipan dari imam al-Ghazali tersebut tidak ada relevansinya sama sekali dengan tulisan Ulil. Ia mengutipnya hanya untuk mengelabuhi orang-orang Islam yang bersahaja, akan tetapi tulisan Huxley itulah yang menjadi pijakan.

Dilihat dari segi metodologi, mengawali sebuah tulisan dengan ucapan dari tokoh Barat (yang kafir terhadap Islam), sebagai ganti dari Firman Allah atau sabda Rasul-Nya adalah menjadi ciri khas bagi Aqlaniyah (tukang akal-akalan). Prof. Dr. Abd al-Rahman al-Zunaidi mengatakan: “Sungguh, kaum aqlaniyah itu telah mengalami suatu kondisi “ketercengangan” terhadap Barat modern, sehingga menjadikannya sebagai marja’ (referensi) utama yang diagungkan dan diimani sebagaimana orang-orang mukmin mengimani dan menyucikan Nushush al-Wahyi (teks-teks wahyu al-Qur’an dan Sunnah)”.

Kemudian al-Zunaidi melanjutkan: “kamu bisa dapatkan marja’iyah ini dalam banyak buku yang menempatkan di awal pasal-pasalnya beberapa baris teks dari ucapan salah seorang tokoh Barat, dimaksudkan sebagai sebuah kata mutiara yang akan dianalisa oleh pasal di bawahnya atau sebagai suatu gagasan poros”[1]

Sedangkan dari sisi subtansinya, seperti apa yang saya katakan di atas, kutipan pertama dari Imam al-Ghazali benar-benar tidak ada relevansinya dengan pembahasan, bahkan Ulil melakukan kecurangan di dalam terjemahannya. Ia mengatakan: “Rahasia Qur’an dan intinya yang paling cemerlang serta tujuannya yang pokok adalah “undangan” untuk para hamba menuju kepada Tuhan”. Seharusnya ia perlihatkan terjemahan kalimat selanjutnya yaitu al-Jabbar dan al-A’la; “Yang Maha Perkasa dan Maha Luhur”, karena “Tuhan” dalam pengalaman manusia cukup banyak, tetapi Tuhan yang memiliki nama al-Jabbar dan al-A’la hanyalah Allah I. Kemungkinan terbesar, ini ia lakukan untuk menopang paham pluralismenya itu, dan ini adalah kedzaliman terhadap imam al-Ghazali, sebab beliau justru mengkafirkan paham yang dianut Ulil itu. Beliau mengatakan seraya mengisaratkan kepada i’jaz al-Qur’an:…Bahwa i’jaz al-Quran itu suci (bersih) dari berbagai macam bentuk-bentuk ikhtilaf ini, sesungguhnya ia berada di atas manhaj yang satu dalam Nuzhumnya (untaian), sehingga yang pertama sama dengan akhirnya, dan berada di atas derajat yang satu dalam Fashahahnya,…Dia digiring kepada makna yang satu yaitu mengajak manusia kepada Allah dan memalingkan mereka dari dunia kepada agama ini (Islam)[2].

Bahkan dalam kitab Mukasyafah al-Qulub, bab 99, Imam Ghazali mengatakan:

( فَعُلِمَ عَنْ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ إِنَّ كُلَّ مَاخَالَفَ الْكِتَابَ وَالسُّنْةَ وَإِجْمَاعَ اْلأَئِمَّةِ فَهُوَ بِدْعَةٌ مَرْدُوْدَةٌ)

“Maka di ketahuilah dari hadits-hadits ini bahwa segala yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ para imam adalah bid’ah yang tertolak”.

Kemudian di bawahnya, imam Ghazali menyebutkan bahwa jalan-jalan yang sesat yang berakhir kepada neraka, dan kita diperintahkan untuk menjauhinya adalah mencakup agama Yahudiyah, Nasraniyah, Majusiyah, seluruh ahli bid’ah dan Ahwa’ dan ahli Syudzudz dalam bidang Furu’, serta orang-orang yang menyelami jadal (perdebatan) dan kalam (keyakinan yang dibangun di atas logika falsafi sebagai ganti al-Qur’an dan Sunnah)[3].

Sedangkan ucapan T.H Huxley “Wherever Bibliolatri Has Prevailed, Bigotry And Cruelty Have Accompanied It” yang terjemahanya “Dimana saja Bibliolatri diterapkan, pasti ia disertai oleh sikap fanatisme dan kekejaman (kebengisan),” dijadikan oleh Ulil sebagai landasan pemikirannya.

Berdasarkan paradigma Ulil sendiri, semestinya teks tersebut tak ada nilainya, sebab telah kehilangan konteksnya. Ulil tidak menulis konteks dari teks tersebut, di mana diucapkan, oleh siapa, kapan, dalam keadaan bagaimana, setting politik dan sosialnya bagaimana, dan seterusnya. Ia lari dari teks al-Qur’an dan teks al-Sunnah dan memeluk erat-erat teks ucapan seorang kafir, sebagai ganti dari kalam Allah dan sabda Rasulnya. Ia tidak jauh beda dari logika bani Israil; mereka diberi makanan surga, malah minta diganti dengan sayur-sayuran, ketimun, bawang putih, kacang pedas, dan bawang merah. Maka jawaban Musa-pun cocok buat orang-orang yang mirip Yahudi: “Apakah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (al-Baqarah: 61)

2. Seperti biasanya, Ulil suka menggunakan bahasa yang mengandung sindiran sinis dan pencemoohan terhadap al-Qur’an, Sunnah dan para pengikut setia Rasul Allah I. Sebagai contoh dalam makalah tersebut ia menulis antara lain:

Salah satu masalah yang selalu menghantui umat Islam sepanjang sejarahnya adalah: bagaimana kita hidup sesuai dengan tuntutan teks agama disatu pihak, tetapi dipihak lain kita juga bisa menempatkan diri secara kongruen dengan perkembangan kemanusiaan” (alinea 1)

Peradaban Islam dan Arab sesungguhnya adalah peradaban yang berpusing-pusing di sekitar teks” (alinea 2).

Wawasan Teologis yang melandasi pandangan “Skripturalisme” ini juga tegak atas suatu asumsi yang agak lucu. Semakin harfiyah kita memahami sabda Tuhan, semakin dekat kita kepada kehendak-Nya…(alinea 3).

Kalau kita sadar bahwa Qur’an dan Sunnah tidak lain adalah juga sekumpulan teks…(alinea 4).

…Pada batas mana kita bisa mengatakan “selamat tinggal” kepada makna lahiriyah teks itu…? (alinea 4).

Acapkali kita dengar bahwa suatu ketentuan hukum tertentu dalam Islam (misalnya hukum Qishash atau waris, contoh yang paling dikutip dalam setiap perdebatan mengenai pokok soal ini) dianggap suatu yang final dan demikian adanya. Semata-mata berdasarkan suatu paham sederhana bahwa itu sabda Allah atau perintah Allah” (alinea 6).

Maka makna Islam yang berarti ketundukan itu dimerosotkan nilainya menjadi sekedar tunduk kepada teks-teks yang ada dalam al-Qur’an. Tentu ketundukan dalam pengertian harfiyah. Islam, dengan demikian, menjadi aneh maknanya: Yaitu tunduk dan berserah diri kepada teks atau dalam bahasa Huxley yang saya kutip tadi dalam pembukaan dalam tulisan ini “Bibliolatri” (alinea 7).

“Rejim teks” akan selalu menjadi bayang-bayang yang terus menghantui masyarakat kitab suci (alinea 7)

Jika tidak ada suatu upaya untuk membongkar wawasan teologis yang menempatkan teks dalam posisi yang begitu sentral semacam ini, maka lingkaran setan pemahaman keagamaan yang al-Kitabiyah atau skriptualistik tidak bisa diatasi (alinea 9)

Kemudian sebagai kalimat penutup, Ulil menulis: “Harap jangan lupa; wahyu verbal dalam Qur’an hanyalah separo wahyu yang harus dilengkapi dengan wahyu non-verbal, dengan cara itulah kita bisa menghindari sikap bibliolatristik”.

Begitulah orang-orang mujrim selalu mengejek orang-orang mukmin, tetapi Allah yang Maha Adil akan membalik kenyataan itu di akhirat (lihat al-Muthaffifin: 29-32).


[1] Abd. al-Rahman al-Zunaidi, al-Salafiyah wa Qadhaya al-Ashr. (Riyadh, Dar Isybiliya, cet. I, 1418) hal. 182.

[2] Musthafa Abd. al-Qadir Atha, Mukaddimah kitab al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Beirut, Dar al-Fikr, 1408) hal. 9-10

[3] Lihat. Abu Hamid al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub (Beirut, Dar al-Fikr) hal. 279-280